Indonesia
terdiri atas berberapa provinsi yang di dalamnya terdapat beragam suku pada
setiap daerahnya. Setiap daerah yang terdiri atas berbagai suku dapat
dipastikan memiliki susunan adat istiadat yang berbeda. Hal ini dikarenakan
dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak akan terlepas dari adat istiadat. Adat
istiadat yang ada selalu mempengaruhi kehidupan sosial dan aturan yang berlaku
dalam masyarakat. Adat istiadat tersebut dapat mendorong serta menjadikan
kelompok masyarakat lebih mengedepankan nalurinya sebagai makhluk sosial.
Makhluk yang tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan dari orang lain yang
berada di sekitarnya. Hal ini terjadi pada suku jawa yang tersebar di berbagai
kabupaten. Yang mana setiap masyarakatnya masih memperlihatkan kearifan lokal
yang ada dalam sukunya. Seperti dalam sistem gotong royongnya. Disini sangat
terlihat kerjasama yang kompak antar masyarakatnya. Gotong royong atau tolong
menolong dapat terbentuk dari tindakan-tindakan yang saling timbal balik. Jika
dibantu, maka harus kembali membantu begitu pula bila diberi, maka harus
kembali memberi. Sistem gotong royong Suku Jawa di kabupaten Wonosobo biasanya
diterapkan dalam peristiwa yang berhubungan dengan tahap kehidupan manusia.
Tolong
menolong tersebut dapat tercermin dari peristiwa kelahiran, perkawinan, serta
kematian. Aktivitas tolong menolong dalam acara perkawinan ada yang bersifat
spontan dan tidak spontan. Tolong menolong yang bersifat spontan dalam acara
perkawinan sangatlah sedikit atau terbatas. Hanya terbatas pada sanak saudara
atau keluarga. Sifat yang spontan ini tidak dapat mencukupi persiapan yang
telah direncanakan. Sehingga kebanyakan dari masyarakat suku Jawa di kabupaten wonosobo
menggunakan cara yang bersifat tidak spontan. Cara ini diawali dengan
permintaan yang punya hajat kepada tetangganya yang biasa dikenal dengan
istilah “sambatan”. Jika tidak dengan diminta maka tidak akan ada yang membantu
meski tetangga dekat sekali pun. Dari aktivitas tolong menolong ini terdapat
pernyataan sakilah yang menarik :
“walau
semua bisa beres karena semua keluarga ikut terlibat, tetapi sederek (tetangga)
kanan-kiri harus tetap dijawili (dimintai pertolongan), supaya tetap
pasederekanipun (tetap akrab), karena semua pasti akan mengalami hal yang sama.
Ada pula istilah “tangga sing disambat-sebut dhisik dhewe” (tetangga yang
pertama akan dimintai pertolongan).
Pernyataan
ini menyiratkan makna adanya timbal balik dalam hal tolong menolong serta antar
tetangga yang saling menjaga keharmonisan.
Di daerah pedesaan wonosobo
peristiwa kelahiran bayi pada umumnya diperingati oleh warga masyarakat
setempat dengan acara “lek-lekan”. Akan tetapi kebiasaan ini tidak semua daerah
di wonosobo masih melakukan, pada umumnya dalam peristiwa kelahiran tidak
disertai aktivitas tolong-menolong yang sifatnya pengerahan tenaga, atau
“rewang”, dan tidak ada sumbang menyumbang. Pada saat kelahiran bayi sampai
pusar putus (puput) ada acara “lek-lekan” yang dilakukan para lelaki yang sudah
berumah tangga. Orang-orang yang biasa disambat dalam acara ini adalah
tetangga, tokoh masyarakat dan orang yang dituakan. Pada peristiwa kelahiran
tolong menolongnya pun sebenarnya tidak tampak, yang terlihat hanyalah gambaran
rasa kebersamaan melalui acara lek-lekan. Yang menyatakan menyatakan kegembiraan adanya kelahiran
seorang bayi. Orang-orang yang mengikuti acara lek-lekan dianggap telah
memberikan pengorbanan untuk ikut mendoakan dan tidak tidur semalaman. Yang
mana acara lek-lekan ini umumnya bersifat tidak spontan, yakni dengan ditembung
(diminta) datang ke acara tersebut.
Aktivitas tolong menolong dalam
peristiwa kematian yang terjadi bersifat spontan. Spontanitas mereka dalam hal
ini sangat universal (menyeluruh). Tanpa diminta mereka langsung mendatangi
tempat keluarga yang terkena musibah tersebut untuk memberikan bantuan yang
bersifat spiritual maupun material. Solidaritas ini tidak sebatas membantu dan
memberikan perhatian kepada keluarga yang terkena musibah, tetapi juga saat
slametan untuk yang meninggal. Kembali tetangga dan saudaralah yang terlibat
dalam acara penyelenggaraan slametan tersebut. Dapat disimpulkanbahwa tolong
menolong dalam peristiwa ini bersifat meringankan beban kesedihan keluarga yang
ditinggalkan.
Selain tolong menolong dalam hal
peristiwa yang berkaitan dengan tahap kehidupan, ada pula tolong menolong dalam
pembuatan rumah. Tolong menolong jenis ini lazim nya berlaku di pedesaan. Di
Wonosobo terdapat berbagai cara pelaksanaan membuat rumah. Ada yang bersifat
formal dan non-formal. Bersifat formal bila pelaksanaannya telah dikoordinir
sedemikian rupa seehingga aktivitas tolong menolong tersebut menjadi suatu
keharusan. Sedang yang bersifat non-formal, lebih mengarah kepada spontanitas
warga setempat untuk ikut membantu meringankan beban warga yang mendirikan
rumah. Pada intinya sistem gotong royong ini didukung dari partisipasi
masyarakatnya yang selalu terlibat dan melibatkan diri dengan sesamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar