Sabtu, 30 Juni 2012

Kearifan Lokal Masyarakat Suku Jawa di Kabupaten Wonosobo daerah pedesaan


Indonesia terdiri atas berberapa provinsi yang di dalamnya terdapat beragam suku pada setiap daerahnya. Setiap daerah yang terdiri atas berbagai suku dapat dipastikan memiliki susunan adat istiadat yang berbeda. Hal ini dikarenakan dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak akan terlepas dari adat istiadat. Adat istiadat yang ada selalu mempengaruhi kehidupan sosial dan aturan yang berlaku dalam masyarakat. Adat istiadat tersebut dapat mendorong serta menjadikan kelompok masyarakat lebih mengedepankan nalurinya sebagai makhluk sosial. Makhluk yang tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan dari orang lain yang berada di sekitarnya. Hal ini terjadi pada suku jawa yang tersebar di berbagai kabupaten. Yang mana setiap masyarakatnya masih memperlihatkan kearifan lokal yang ada dalam sukunya. Seperti dalam sistem gotong royongnya. Disini sangat terlihat kerjasama yang kompak antar masyarakatnya. Gotong royong atau tolong menolong dapat terbentuk dari tindakan-tindakan yang saling timbal balik. Jika dibantu, maka harus kembali membantu begitu pula bila diberi, maka harus kembali memberi. Sistem gotong royong Suku Jawa di kabupaten Wonosobo biasanya diterapkan dalam peristiwa yang berhubungan dengan tahap kehidupan manusia.
Tolong menolong tersebut dapat tercermin dari peristiwa kelahiran, perkawinan, serta kematian. Aktivitas tolong menolong dalam acara perkawinan ada yang bersifat spontan dan tidak spontan. Tolong menolong yang bersifat spontan dalam acara perkawinan sangatlah sedikit atau terbatas. Hanya terbatas pada sanak saudara atau keluarga. Sifat yang spontan ini tidak dapat mencukupi persiapan yang telah direncanakan. Sehingga kebanyakan dari masyarakat suku Jawa di kabupaten wonosobo menggunakan cara yang bersifat tidak spontan. Cara ini diawali dengan permintaan yang punya hajat kepada tetangganya yang biasa dikenal dengan istilah “sambatan”. Jika tidak dengan diminta maka tidak akan ada yang membantu meski tetangga dekat sekali pun. Dari aktivitas tolong menolong ini terdapat pernyataan sakilah yang menarik :
“walau semua bisa beres karena semua keluarga ikut terlibat, tetapi sederek (tetangga) kanan-kiri harus tetap dijawili (dimintai pertolongan), supaya tetap pasederekanipun (tetap akrab), karena semua pasti akan mengalami hal yang sama. Ada pula istilah “tangga sing disambat-sebut dhisik dhewe” (tetangga yang pertama akan dimintai pertolongan).
Pernyataan ini menyiratkan makna adanya timbal balik dalam hal tolong menolong serta antar tetangga yang saling menjaga keharmonisan.
            Di daerah pedesaan wonosobo peristiwa kelahiran bayi pada umumnya diperingati oleh warga masyarakat setempat dengan acara “lek-lekan”. Akan tetapi kebiasaan ini tidak semua daerah di wonosobo masih melakukan, pada umumnya dalam peristiwa kelahiran tidak disertai aktivitas tolong-menolong yang sifatnya pengerahan tenaga, atau “rewang”, dan tidak ada sumbang menyumbang. Pada saat kelahiran bayi sampai pusar putus (puput) ada acara “lek-lekan” yang dilakukan para lelaki yang sudah berumah tangga. Orang-orang yang biasa disambat dalam acara ini adalah tetangga, tokoh masyarakat dan orang yang dituakan. Pada peristiwa kelahiran tolong menolongnya pun sebenarnya tidak tampak, yang terlihat hanyalah gambaran rasa kebersamaan melalui acara lek-lekan. Yang menyatakan  menyatakan kegembiraan adanya kelahiran seorang bayi. Orang-orang yang mengikuti acara lek-lekan dianggap telah memberikan pengorbanan untuk ikut mendoakan dan tidak tidur semalaman. Yang mana acara lek-lekan ini umumnya bersifat tidak spontan, yakni dengan ditembung (diminta) datang ke acara tersebut.
            Aktivitas tolong menolong dalam peristiwa kematian yang terjadi bersifat spontan. Spontanitas mereka dalam hal ini sangat universal (menyeluruh). Tanpa diminta mereka langsung mendatangi tempat keluarga yang terkena musibah tersebut untuk memberikan bantuan yang bersifat spiritual maupun material. Solidaritas ini tidak sebatas membantu dan memberikan perhatian kepada keluarga yang terkena musibah, tetapi juga saat slametan untuk yang meninggal. Kembali tetangga dan saudaralah yang terlibat dalam acara penyelenggaraan slametan tersebut. Dapat disimpulkanbahwa tolong menolong dalam peristiwa ini bersifat meringankan beban kesedihan keluarga yang ditinggalkan.
            Selain tolong menolong dalam hal peristiwa yang berkaitan dengan tahap kehidupan, ada pula tolong menolong dalam pembuatan rumah. Tolong menolong jenis ini lazim nya berlaku di pedesaan. Di Wonosobo terdapat berbagai cara pelaksanaan membuat rumah. Ada yang bersifat formal dan non-formal. Bersifat formal bila pelaksanaannya telah dikoordinir sedemikian rupa seehingga aktivitas tolong menolong tersebut menjadi suatu keharusan. Sedang yang bersifat non-formal, lebih mengarah kepada spontanitas warga setempat untuk ikut membantu meringankan beban warga yang mendirikan rumah. Pada intinya sistem gotong royong ini didukung dari partisipasi masyarakatnya yang selalu terlibat dan melibatkan diri dengan sesamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar