Ujungan, mungkin kata ini terdengar
asing di telinga anak-anak muda Bekasi pada era kini. Sebab kesenian Ujungan
ini sudah jarang bahkan sulit ditemukan di daerah Bekasi. Untuk mengenalinya
pun sangat sulit, karena tidak banyak literatur yang menceritakan secara detail
asal mula kesenian ini muncul, terkenal, dan kemudian hilang nyaris tanpa
jejak.
Seni ujungan merupakan
jenis ketangkasan bela diri yang didalamnya terdapat perpaduan tiga jenis seni
yaitu seni musik (Sampyong), seni tari-silat (Uncul), dan seni bela diri
tongkat (ujungan). Menurut beberapa sumber, seni ujungan merupakan jenis
kesenian tertua yang pernah ditemukan, pada era kerajaan Salakanegara (130M)
berdasarkan naskah kuno Wangsakerta yang merupakan cikal bakal kerajaan besar
di Jawa Barat. Ujungan merupakan suatu kesenian bela diri yang
berkembang di Bekasi. Kata ujungan sendiri berasal dari Bahasa Sunda, Jung yang
berarti dari lutut ke bawah. Kata ini berkembang menjadi ujung yang artinya kaki.
Beberapa tokoh ujungan Bekasi mengatakan bahwa ujungan berasal dari kata ujung
(bongkot, bahasa dialek Bekasi), baik ujung rotan maupun ujung kaki. Dalam
bahasa Melayu, ujung berarti lawan kata dari pangkal atau garutan yang menonjol
ke laut. Pengertian kata ujung dalam bahasa Melayu mempengaruhi kata-kata dalam
bahasa Sunda. Dalam bahasa Melayu kata ujung berkembang dan kemudian menjadi
kata yang umum digunakan dalam permainan ujungan.
Kesenian ujungan ini
lebih mirip seperti bela diri pada umumnya, namun para pemain dilengkapi dengan
tongkat sepanjang 30 cm. Ujungan biasanya ditampilkan untuk merayakan pesta
panen. Sehingga permainan ini dilakukan di tengah sawah yang sudah dipanen. Kesenian
ujungan diiringi dengan musik sampyong dan totok. Lalu muncullah
penari-penari (uncul) diarena dan mencari lawannya. Kemudian tersisa satu orang
yang menari-nari, kawan lainnya kembali kekelompoknya masing-masing, dan terus
menari. Setelah itu beboto (wasit dalam permainan) yang telah dipilih, melempar
dua batang rotan ketengah-tengah pemain. Kemudian rotan tersebut diambil para
pemain dan digunakan untuk bertanding. Para pemain tersebut membawa rotannya kekelompok
masing-masing.
Saat itulah rotan tersebut diisi
dengan magis yang ada padanya. Masing-masing dibalur dengan ubur-ubur laut, air
keras dan lain sebagainya. Sekitar satu menit kemudian, beboto memanggil para
pemain untuk memulai pertandingan. Sebelum bertanding beboto mengangkat
rotan para pemain (diacungkan: bahasa Bekasi) dan ujung rotan tersebut disatukan.
Kemudian permainan akan dimulai ketika beboto memberikan komando. Maka mulailah
permainan ini. Para pemain memusatkan sasaran pada bagian kaki di bawah lutut. Dalam permainan ujungan ini, ujung kaki (jari-jari kaki,
khususnya ibu jari) harus diperhatikan dan dipertahankan agar tidak terkena
ujung rotan. Sebab akan menimbulkan luka berat bila terkena pukulan penjug
(istilah dalam permainan ujungan). Menariknya dalam permainan ujungan ini
terdapat dua hal yang perlu diperhatikan yakni Ujung Rotan dan Ujung Kaki.
Kini kesenian ujungan
seolah hanyut bersama pesatnya pembangunan Bekasi. Bahkan tidak terdengar lagi
alunan sampyong dan totok serta tarian Uncul
yang merupakan tarian yang dilakukan sebelum mulainya permainan ujungan.
Kini saatnya para generasi penerus untuk memperkenalkan dan melestarikan
kesenian tersebut baik di dalam negeri maupun diluar negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar